Ditulis Oleh: Dahono Prasetyo
Hari ini tepat 3 tahun lalu, saat masing-masing kami sedang berjibaku mengusung Jokowi 2 periode. Dia di daerah terpencil, aku di pusat hiruk pikuk pertarungan politik. Suatu saat dia kirim pesan di WA :
“Hampir setahun ini saya kalau belanja ke pasar lebih suka jalan kaki atau naik angkot kalau lagi gak enak badan. Maksudnya supaya bisa ketemu banyak orang daripada naik motor. Setiap kali ketemu orang orang di jalan, pasar, warung saya selalu bercerita tentang Pak Jokowi”
“Ibu di situ anggota relawan apa?” balasku di chat WA.
“Nggak ada ikut apa apa. Saya seneng cerita ke siapapun kabar baik apa saja tentang Pak Jokowi. Makanya saya ikut WAG dan buka fesbuk untuk baca berita tiap hari” jawabnya pakai emoticon tersipu.
Aku mengenalnya di medsos kemudian berlanjut di WAG info Jokowi. Dia termasuk paling aktif bertanya apapun tentang Jokowi. Malam itu dia berkirim kabar, pamit keluar dari grup dengan alasan yang cukup membuatku menghela nafas.
“HP ini mau dikirim ke anak saya yang sekolah SMA di kota. Saya mengalah pakai HP biasa saja. Tapi tidak mengurangi niat saya cerita tentang Pak Jokowi kepada siapa saja yang saya temui. Apalagi sebentar lagi mau Pemilu ya mas”
Spontan pikiranku melayang, membayangkan sebuah titik api di kejauhan. Tentang perjuangan yang tidak butuh pujian, tentang kecintaan altar pada menara gadingnya.
Aku menunduk. Malu. Hanya berani koar koar di Medsos beradu nyinyir sama kampret, namun lupa menyampaikan kabar baik ke rumah-rumah. Meski hanya sambil lalu. Kepada mereka mereka yang belum mampu membeli tekhnologi.
“Tetap semangat ya Bu. Jangan sampai kisah ini sampai ke Pakdhe. Dia bisa menangis terharu” balasku singkat kehabisan kata kata.
Hari ini tepat 3 bulan kepergiannya ke rumah Tuhan. Nyaman disisiNya, yang semoga dia bahagia, tetap tersenyum melihat Presiden yang dicintainya masih bertahan dalam badai dan ombak.
(Sumber: Facebook Dahono Prasetyo)
.jpg)
.jpg)
