Opini

Mengenang Jokowi-Ahok

Indah Pratiwi - 07/09/2022 14:59
Oleh : Dahono Prasetyo
FOKUS : Ahok

Mereka disatukan dengan cara yang “aneh” dengan tujuan baik, meski akhirnya dipisahkan dengan cara yang lebih “aneh“. Mereka berdua lah yang memberi banyak warna dalam perpolitikan 1 dasawarsa terakhir ini.


Berawal dari ide e-budjeting dalam system manajemen pemerintahan yang dicetuskan Jokowi saat menjabat Gubernur DKI. Sebuah ide yang sebagian elit birokrat dianggap mustahil diterapkan. Bagaimana sebuah perhitungan anggaran, keluar masuk dana dan belanja pemerintah hingga alokasi dana proyek diformat secara on-line, terbuka transparan siapa saja bisa mengakses sekaligus mengawasi. Bak guntur di siang bolong, sebagian oknum birokrat merasa terancam lahan korupsinya gegara Jokowi. Namun itulah awal perubahan manajemen pemerintahan yang akan kita saksikan efek dominonya bagi semua lini.

Skenario politikpun dirancang. Jokowi harus hengkang dari DKI. Pilihan logis dan berpelung besar adalah dengan menaikkannya menjadi Calon Presiden RI. Berhadapan dengan Prabowo yang sudah lama digadang sebagai The Next Leader in Indonesia. Jokowi-pun nurut apa kata skenario yang ditimpakan padanya. Dalam hitungan matematika politik Prabowo akan menang dengan segala kelebihan kharisma, strategi, dana hingga popularitasnya. Jokowi rela melepaskan jabatan Gubernur dan secara otomatis Ahok menggantikannya secara konstitusional.

Dasar sialnya para perancang skenario kelas tinggi itu, diluar dugaan Jokowi berhasil mengalahkan Prabowo dalam Pilpres. Terlepas dari permasalahan masing masing tim sukses melakukan kecurangan, namun secara konstitusi Jokowilah yang sah mendapat mandat Presiden ke 7. Kekacauan situasi dunia politik, ekonomi dan hukum dari pembuat skenario semakin bertambah runyam. Jokowi malah naik pangkat. Dan Ahok yang ketiban “lungsuran” jabatan Jokowi ternyata lebih “gila” memimpin Jakarta. Tidak bisa dikendalikan dan cenderung membabi buta menyerang politisi hitam, preman preman birokrat dan pengusaha oportunis yang bertebaran di segala lini belantara Ibukota. Mengemban amanat sepeninggalan Jokowi, e-budjeting lanjut dirancang secara “otoriter” oleh Ahok, karena berlomba dengan di waktu sisa masa jabatannya. Korban e-badjeting berjatuhan. Berawal dari RAPBN DKI yang selisih 1,2 trilyun hingga proyek pengadaan UPS yang “menggelikan” kala tersebut.

Skenario baru penghancuran Ahok-pun disusun. Kasus Sumber Waras tidak cukup ampuh menjerat Ahok. Mega Proyek Reklamasi menghajar Ahok dari segala penjuru. Pihak Kementrian terkait, Anggota Dewan hingga pengusaha hitam menumbalkan Ahok sebagai penyebab carut marutnya proyek pengurukan laut itu.

Tapi bukan Ahok kalau tak pandai berargumen. Ahok berkilah melanjutkan dan melaksanakan Undang Undang tentang Reklamasi pada pemerintahan sebelumnya. Dan hingga pertengahan tahun ini Ahok masih tak tersentuh skenario hitam preman preman berdasi.

Waktu terus berjalan, Jokowi yang berkantor di seberang kantor Ahok ibarat 2 gapura gerbang masuk yang saling menguatkan. Terpisahnya mereka justru menambah kokoh dinding masuk di dua sisinya. Menghancurkan gapura kokoh mesti dilakukan satu persatu. Hingga jadwal pemilihan Gubernur secara langsung di DKI sungguh menjadi kiamat bagi habitat penjahat anggaran jika Ahok maju apalagi terpilih menjadi Gubernur DKI. Sepertiga periode saja sudah bikin pusing apalagi satu periode. Mereka heran justru tanpa Partai, Ahok malah semakin kuat dan kurang ajar. Seolah sadar Partai bakalan minder mengusung dirinya yang menjadi Cagub, Ahok menciptakan “permainan” manis di jalur Independen. Teman Ahok secara mengejutkan telah memporak porandakan tatanan demokrasi parpol. Bermodal 1 juta KTP, Ahok semakin memanaskan suhu politik di Ibukota.

“Ini orang maunya apa sih?” begitu kira kira isi kepala para petinggi Partai. Mau tak mau PDI-P yang masih merasa memiliki Wakil Gubernur Djarot terpaksa harus mengusung pasangan Ahok dan Djarot sebagai pasangan yang berpeluang besar menang dalam Pilgub langsung 2017. Dengan harapan dan usaha, jika nantinya Ahok terpilih kembali menjabat Gubernur masih ada Djarot jika sewaktu waktu Ahok bermasalah. Serangan penghancuran Ahok oleh Partai justru akan semakin kencang setelah sah menjadi Gubernur. Strategi menceraikan pasangan Kepala Daerah serupa Jokowi – Ahok dulu diulang lagi. Kali ini sasarannya Ahok – Djarot.

Efeknya luar biasa, gerakan menghancurkan Ahok merebak ke seluruh penjuru negeri. Mendadak Kasus Al-Maidah menjadi ide brilian penghancuran 2 gapura gerbang Jokowi Ahok secara bersamaan. Tuduhan penistaan Agama yang sarat kepentingan politik meledak dalam situasi tak terprediksi, menjadi kecelakaan politik terbesar dalam sejarah Indonesia. Umat Islam seantero negeri tiba tiba marah, gegara keseleo lidahnya Ahok. Kelompok anti Ahok Jokowi bersuka mendapat kartu As dari langit. Upaya mereka menghancurkan Ahok yang berdampak pada Jokowi dilakukan tanpa susah payah. Jokowi “kalang kabut” gegara ulah Ahok. Situasi negeri terancam dengan sentiment Agama. Dilema politisasi Agama menjadi ujian paling berat bagi Jokowi di 2 tahun kepemimpinannya.

Melalui Kapolri, Presiden menginstruksikan proses hukum kasus dugaan penistaan Agama dibuka blak-blakan. Gelar perkara oleh Tim Penyidik hingga sidang pengadilan Ahok digelar terbuka dan disiarkan secara langsung oleh stasiun Televisi. Jokowi sedang memainkan strategi politik diam, kasus Ahok dibiarkan tanpa intervensinya pemerintah demi menjaga persatuan umat. Di saat itulah tanpa disadari Jokowi sedang memancing tikus tikus politik keluar dari persembunyiannya. Ahokpun tumbang dengan segudang permasalahan politik di belakangnya. Vonis 2 tahun penjara untuk Ahok menjadi harga termahal yang harus dibayar demi untuk mengetahui aktor dalang dan sutradara penghancuran Republik secara sistematis yang selama bersembunyi.

Periode 8 tahun pemerintahan Jokowi menjadi sebuah pertaruhan tinggi mempertahankan NKRI. Terlepas dari masih compang-camping nya persoalan politik, ekonomi dan hukum, Jokowi berhasil mempertahankan keutuhan bangsa hingga detik ini. Jika akhirnya berlanjut ke periode ke dua, menjadi pertanda baik bahwa celah kecil kesempatan bertahan itu berhasil direbut. Kesempatan kecil mempertahankan Pancasila dan NKRI telah dimenangkan. Entah seberapa lama akan berumur panjang bukan lagi tergantung kepada Jokowi.

Catatan kecil ini sedikit menyimpulkan, kehadiran Jokowi ternyata sukses membuat bersatunya para koruptor, mafia dalam dan luar negeri serta politisi hitam yang selama ini merancang skenario penghancuran negara. Mereka yang sedang bersekutu melawan. Sedangkan kehadiran Ahok, tak bisa dipungkiri berhasil memancing keluar kelompok intoleran dan radikalisme yang selama ini bergerilya menggerogoti akhlak bangsa.

Sumber : Status Facebook Dahono Prasetyo

TAG TERKAIT :
Jokowi Jokowi-ahok

Berita Lainnya