Politik

Demokrat Serang Jokowi Dengan "Isu Kecurangan", Karto Boogel : PINGIN JADI PRESIDEN? NGOMONG DONG!!

Indah Pratiwi - 03/10/2022 06:24

Beritacenter.COM - Banyak cara yang dilakukan partai Demokrat unutk menjegal PDIP memajukan Calon Presiden 2024, dari membuat Isu Pemilu 2024 ada kecurangan serta yang baru-baru ini Si tukang sabu dari partai Demokrat menyebarkan berita hoaks yang menyatakan Presiden menginginkan hanya dua pasang calon di Pilpres 2024.

Hal tersebut mendapat sorotan Pegiat media sosial melalui akau facebooknya menuliskan artikel yang berjudul "Pengen Jadi Presiden? Ngomong Dong"

Oleh : Karto Bugel

Pada awalnya mereka bilang bahwa hal


terbaik bagi bangsa ini saat ingin memilih pemimpinnya adalah dengan musyawarah dan mufakat. Konon sistem perwakilan katanya masih sangat dibutuhkan oleh bangsa dengan budaya seperti kita.

Rakyat memilih wakilnya melalui pemilu dan para wakil itu secara musyawarah dan mufakat dalam peran mereka sebagai anggota MPR kemudian memilihkan kita seorang Presiden.

Reformasi merubah semua itu. Rakyat tak mau beli kucing dalam karung. Mereka tak ingin mewakilkan hasratnya terkait siapa pantas menjadi pemimpin pada para yang mulia di gedung parlemen itu.

 

 

 

Kenapa bisa begitu?

Selama enam kali pemilu sejak tahun 1972, secara mufakat para yang terhormat itu entah bagaimana caranya, selalu berakhir pada kata aklamasi memilih Jenderal Soeharto menjadi Presiden.

Seperti tak ada kata bosan, para yang mulia itu bahkan terkesan sampai harus memohon agar Soeharto masih dan sekali lagi diharapkan “berkenan” untuk menjadi mandataris MPR.

Pada persepsi berbeda, itu seperti para yang mulia tersebut tak memiliki lagi kata tepat selain Soeharto dan maka mereka terkesan hingga harus mengemis pada sosok kuat pemimpin Orde Baru itu untuk kembali mau menjadi Presiden.

Meski tak sama persis, di Korea Utara kisah itu masih berlangsung.

“Apakah amandemen UUD 45 akibat reformasi itu benar telah memenuhi keinginan rakyat?”

Enggak!!

Itu hanya seperti memindahkan ruang diskusi saja. Obrolan tentang siapa pantas jadi Presiden kini berlangsung di ruang dan waktu berbeda saja. Esensinya masih sama yakni dipilihkan.

Dulu, sebelum reformasi, siapa menjadi Presiden ditentukan belakangan. Saat ini, dipindah di depan. Dulu, setelah para wakil rakyat itu terpilih, mereka baru bekerja untuk memilihkan pemimpin bagi rakyatnya. Kini, siapa calon itu disebut didepan dan kemudian rakyat memilih.

Namun, siapa pun sosok calon itu, mereka itu dipilihkan. Siapa sosok itu, 100 persen dapat dibilang benar adanya tergantung pada partai. Lebih tepatnya, seringkali menjadi prerogatif Ketum Partai.

Benar adanya bahwa rakyat tak lagi seperti membeli kucing dalam karung, tapi fakta bahwa kita dipaksa memilih sosok yang sejak awal telah dipilihkan pun bukan katanya-katanya. Ya, tetap sama-sama bukan pilihan murni yang berasal dari rakyat sejak dari awalnya. Dulu dipilihkan oleh MPR, kini oleh Parpol.

Pada Pilpres langsung, hanya nama pesta nya saja yang keren karena seolah kini dilakukan langsung, namun itu semua tak merubah esensi DIPILIHKAN.

Dan itu makin mustahil dengan hadirnya Presidential Threshold 20 persen yang sudah diberlakukan sejak zaman pak SBY berkuasa. Siapapun calon itu harus terkorelasi dengan partai besar atau paling tidak gabungan partai.

“Bukankah itu justru bagus agar seleksi sudah dilakukan sejak awal? Tak semua sosok yang merasa pantas boleh suka-suka mencalonkan diri?”

Itu paradigma bahwa yang besar adalah selalu yang benar. Padahal, siapapun anda, tak ada larangan untuk menjadi Presiden di negara ini. Itu perintah dan dijamin konstitusi.

Bila kini hal itu seolah seperti dihambat oleh konstitusi yang lain, bisa jadi itu justru akibat tambal sulam konstitusi itu sendiri sebagai wajar makna ketika mereka adalah pemain tapi mereka juga yang bikin aturan.

Pun wasitnya, konon aturan bagi mereka juga dibuatkan. Luar biasanya, para wasit itu juga dipilih oleh mereka yang terafiliasi sebagai pemain.

“Tapi bukankah memang seperti itu adanya bahkan di semua negara?”

Ketika moral masih dapat diandalkan sebagai panglima, itu memang akan terkesan mudah. Itu seperti kita bicara tentang saat anda dilantik menjadi Bupati, Walikota, Gubernur dan hingga Presiden maka politik kepartaian dalam diri anda bubar dan berubah menjadi politik negara harus terjadi.

Saat ini, itu mustahil. Terlalu banyak aturan telah dibuat demi saling tabrak itu sendiri.

Pernah dengar istilah petugas partai? Meski mungkin tak bermaksud untuk maksud seperti itu, kadang bauran kepentingan justru merubah makna mulia maksud itu sendiri.

“Apakah berarti undang undangnya yang kudu harus dirubah lagi?”

Seperti anda menentukan siapa pantas menjadi sopir bus, para yang mulia itu kini adalah sopir bus. Bedanya, mereka sopir bus yang seringkali suka-suka.

Saat para penumpang ingin bus mampir ke rest area karena persoalan kencing, si sopir berhenti di toko oleh-oleh. Anda tahu kenapa itu dipilihnya.

Pun amandemen UUD 45 yang kini menjadi landasan pilpres langsung, dia masih tak sempurna karena adanya tarik menarik kepentingan. Tapi, itu bukan berarti UU nya yang tak baik dan maka harus dirubah lagi.

“Soal capres tadi?”

Anda ingin nyapres? Nyatakan dengan lantang. Jangan ambigu antara mau dan takut pada pimpinan partai atau gak nyaman dengan perasaan Presiden yang saat ini masih menjabat. Buat jaringan seluas rakyat ingin bersuara.

Nyatakan dengan keras. Bila perlu, lakukan deklarasi di banyak tempat. Itu bukti bahwa anda memang dikenal dan pantas untuk berebut kursi itu.

Berdebatlah dengan konstituen hingga pembenci anda. Sampaikan dan jual program anda hingga rakyat tahu apa yang akan didapat bila kelak harus memilih anda.

Itu makna membuat panggung bukan menanti panggung diberikan. Anda adalah calon Presiden bukan calon manajer sesuai urutan anak tangga karena saat ini anda adalah supervisor misalnya. Bukan!!

Anda diminta dan dituntut mendeclare siapa anda. Dan yang seperti itu, tak ada satupun.

Yang nekad dan kadang cenderung tak tahu diri, justru bersuara. RR bukan Lijal Lamli misalnya, dia memang luar biasa Pe-De. Bahwa tak ada Parpol yang melirik, itu tanda pedenya tak sejalan dengan nalar bangsa ini. Ya ga masalah kan?

“Bukankah belum saatnya kampanye?’

Ini bukan tentang kampanye. Ini tentang kejujuran rasa ingin anda menduduki posisi itu dan maka harus anda sampaikan dengan cara yang pantas. Kepatutan anda layak untuk dinyatakan dan maka kelak pasti akan dilihat.

“Bagaimana kalau ketumnya marah?”

Seorang Ketua Umum Partai yang matang tak akan mudah distracted pada keadaan seperti itu. Dia tak akan terintimidasi hanya karena kisah seperti itu.

Justru sebaliknya, dia butuh masukan sebanyak yang dapat diberikan anggotanya. Bahkan pada si tukang ngeyel dan berhasrat ingin jadi Presiden.

Biasanya, itu dengan syarat dan ketentuan, dia tak mengatasnamakan Partai misalnya. Dia memang akan marah kalau partainya dibawa-bawa. Sepanjang itu privat, tak ada alasan Ketum akan marah.

“Jadi, deklarasi saja gitu?”

Ya, deklarasikan saja. Bicaralah sebanyak anda dapat bicara tentang posisi itu bila anda duduk di sana kelak. Jangan justru jualan gimmick melalui baliho, tiktok hingga pencitraan tak perlu yang justru bicara tendensius ingin semata.

Apa yang kita lihat hari ini, mereka benar hanya NGAREP. Malu tapi mau sambil lirik sana, lirik sini mencari kawan sewarna.

Masih ingin jadi Presiden, nyatakan dengan suara lantang : “saya ingin jadi Presiden!”

Buat deklarasi agar banyak pihak tahu bahwa anda memang INGIN. Jangan kegèèran karena anda bukan pak Harto dimana dalam siklus 5 tahunan beliau selalu ditanya para penjilatnya : “apakah bapak masih berkenan memimpin bangsa ini?” sambil membungkuk hormat.

Ya, teriakkan saja dengan lantang, itu sekaligus tanda bahwa anda memang layak.

RAHAYU

Sumber : Status Facebook Karto Bugel

TAG TERKAIT :
Demokrat SBY Demokrat Partai Tukang Nyinyir Demokrat Partai Korupsi SBY Turun Gunung Demokrat Sebar Hoaks Demokrat Partai Tukang Sebar Hoaks Partai Demokrat Tukang Fitnah Partai Demokrat Tukang Korupsi

Berita Lainnya