Persetujuan Paris 2015 atau The Paris Agreement atau Accord de Paris, secara tak sengaja telah membuat nikel menjadi sangat central. Luar biasanya, kita adalah si pemilik.
Indonesia adalah pemilik 52% cadangan nikel dunia. Itu menempatkan negara kita sebagai pemilik terbesar di dunia. Pun dengan kobalt, Indonesia berada pada urutan ketiga sebagai terbesar setelah Kongo dan Australia.
Dan kita tahu bahwa Nikel menjadi bahan baku baterai lithium yang dipakai pada telepon genggam atau peralatan elektronik lainnya. Haingga saat ini, baterai lithium termasuk produk yang eco-friendly karena sifatnya yang bisa diisi ulang.
Dan maka, kebanyakan produsen kendaraan listrik pun memilih menggunakan baterai lithium. Salah satu alasan yang lain adalah terkait antara skala rasio antara bobot dan energi yang baik.
Ditambah dengan unsur mangan dan aluminium, kelak akan menjadi baterai NMC atau NCA dua dari enam jenis baterai lithium bagi mobil listrik paling populer itu.
Nikel, kobalt dan mangan atau aluminium dalam satu ramuan menjadi baterai mobil listrik adalah tentang energi terbarukan yang tak terbatas. Dan itu secara perlahan jelas akan menggeser minyak bumi. Dan itu tentang cadangan berlimpah yang kita miliki.
Dulu, siapa menguasai minyak dia menguasai dunia, tiba – tiba dibantah oleh perjanjian iklim ini. Siapa menguasai nikel, dia menguasai dunia memang terlihat lebih masuk akal.
Perjanjian iklim paris yang diratifikasi oleh 55 negara anggota UNFCCC yang mewakili 55% emisi gas rumah kaca dan dinegosiasikan pada 196 pihak yang terlibat adalah tentang masa depan dunia. Ini tentang trend dunia sedang ingin menuju.
Sesaat kita merasa bahwa dunia sedang berpihak pada kita. Sebagai bangsa pemilik cadangan nikel terbesar itu, kita mencoba untuk menggunakan nikelnya dengan bijak.
Dan kesadaran itu membuat kita tak lagi ingin jualan nikel mentah tapi nikel yang sudah memiliki nilai tambah. Dia bisa jadi bagian dari stainless steels baterai lithium dan lain – lain, dan lain – lain.
Dan tiba – tiba keunggulan kita yang luar biasa itu digugat. Mereka menggunakan WTO sebagai sarananya. Setelah hampir dua tahun berproses, kita menerima kabar bahwa kita kalah. Lawyer
terbaik kita tak mampu mempertahankan apa yang sudah menjadi keputusan kita.
Hasil putusan panel WTO yang dicatat dalam sengketa DS 592 itu memutuskan bahwa kebijakan Ekspor dan Kewajiban Pengolahan dan Pemurnian Mineral Nikel di Indonesia terbukti melanggar ketentuan WTO Pasal XI.1 GATT 1994 dan tidak dapat dijustifikasi dengan Pasal XI.2 (a) dan XX (d) GATT 1994.
GATT atau General Agreement on Tariffs and Trade atau Perjanjian Umum Tarif dan Perdagangan adalah suatu perjanjian multilateral yang mengatur perdagangan internasional. GATT adalah pendahulu WTO yang berdiri sejak tahun 1947.
“Bukankah itu barang kita, kenapa mereka bisa suka – suka ngatur?”
Pemerintah Indonesia telah menjadi anggota WTO sejak tahun 1995 dan telah meratifikasi perjanjian WTO itu melalui UU No. 7 Tahun 1994. Artinya, kita memang harus patuh pada apa yang sudah kita sepakati.
World Trade Organization (WTO) adalah organisasi perdagangan dunia yang menjalankan sistem perdagangan multilateral dan terdiri dari 164 anggota.
Segala kebijakan dan peraturan perdagangan yang dibuat oleh Pemerintah Indonesia, suka ga suka ya harus selaras dengan komitmen Pemerintah Indonesia di WTO.
Dan itu menuntut kita untuk menerapkan Good Regulatory Practice dalam proses pembuatan kebijakan dan peraturan perdagangan.
Beberapa peraturan perundang-undangan yang dinilai melanggar ketentuan WTO adalah UU Nomor 4 Tahun 2009 (UU Minerba), Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2019, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 96 Tahun 2019 dan Peraturan Menteri ESDM Nomor 7 Tahun 2020.
“Trus buat apa Presiden minta lagi kita banding kalau faktanya kita ternyata sudah meratifikasi perjanjian WTO itu?”
Kita TIDAK KALAH. Kita BELUM benar – benar kalah.
Kita tidak kalah karena pada faktanya, selama hampir 3 tahun masa sidang kita justru telah mandiri. Selama jeda waktu sidang yang penuh dengan pernak pernik pembuktian itu kita justru sudah AMBIL UNTUNG.
UU itu secara resmi berlaku sejak 1 Januari 2020. Dan lihat, setelah persiapan ini dan itu selama satu tahun (di 2020) pada 2021 nilai ekspor kita tiba – tiba melejit setinggi langit dan mencapai US$ 20,9 miliar atau sekitar Rp 323 triliun.
Dan itu tak dapat dibendung lagi karena pada sepanjang 2022 ekspor nikel kita sudah menembus US$ 27 miliar – US$ 30 miliar atau Rp 418 triliun – Rp 465 triliun.
Padahal, Sebelum larangan ekspor bijih nikel berlaku di Indonesia, nilai ekspor bijih nikel hanya mencapai US$ 3 miliar atau Rp 46,5 triliun pada tahun 2017 – 2018.
Artinya, dengan waktu hanya satu tahun kita bersiap yakni di tahun 2020 namun pada 2021 kentungan kita sudah meroket 700% dan di 2022 naik lagi bahkan telah mencapai 1000%.
Di sisi lain, hal yang paling amat sangat membuat bangsa ini bangga, dalam waktu singkat kita telah mempunyai banyak smelter. Hilirisasi dalam artian terjadi transfer teknologi pun telah kita dapat. Kita telah naik pangkat dari jualan raw material menjadi barang setengah jadi sekaligus barang teknologi, yakni stainless steel hingga baterai.
Kita juga belum benar – benar kalah, kita masih dapat banding. Kita hanya butuh novum atau bukti baru.
Kita kemarin kalah karena pembelaan kita tak dapat mereka terima. Dalam final panel report itu juga berisi bahwa panel menolak pembelaan yang diajukan oleh Pemerintah Indonesia terkait dengan keterbatasan jumlah Cadangan Nikel Nasional dan untuk melaksanakan Good Mining Practice sebagai dasar pembelaan.
“Trus apa kira – kira novum apa dapat kita cari?”
Para hakim dari Eropa kebanyakan adalah pihak yang concern dengan lingkungan hidup. Perjanjian Iklim Paris dikaitkan dengan produksi baterai mobil listrik jelas bicara tentang lingkungan hidup. Itu kisah mengurangi emisi karbon. Perjanjian Iklim Paris sangat peduli terhadap itu.
Bila para lawyer kita benar mampu menyandingkan fakta dan data itu dengan baik, dengan pemahaman lingkungan hidup terupdate sesuai tatanan pikir mereka, kenapa kita tak yakin bahwa para hakim itu akan goyah? Sertakan saja ahli – ahli lingkungan hidup berskala dunia.
Dan yang terakhir, kenapa kita justru lupa pada bukti terkuat dari yang paling kuat? i
Bukankah pasal 33 UUD 45, dan UUD 45 adalah dasar dari segala dasar hukum di negara kita?
Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sesuai isi UUD 1945 Pasal 33 ayat 3 adalah kebenaran mutlak dan tak boleh diganggu gugat.
Itu dapat kita tafsirkan sebagai perintah paling sakral dan maka nalar terbentuk adalah tak mungkin ada hukum lain yang boleh lebih tinggi. Bahkan Perjanjian WTO yang sudah kita ratifikasi sekali pun
Pun ketika lebih dulu mana aturan itu ada, UUD 45 jauh lebih tua. Bahkan ketika mereka gunakan GATT sebagai pendahulu WTO yang dibentuk tahun 1995. Faktanya GATT baru ada tahun 1947 dan UUD 45 dua tahun lebih tua.
Ya, dasar negara kita telah memerintahkan bahwa bumi air dan segala kekayaan alam yang terkandung di dalamnya harus digunakan untuk sebesar – besarnya kemakmuran rakyat sangat terkait dengan klausul itu.
Kita bisa mulai dengan meng MK kan UU Nomor 7 Tahun 1994 karena tak sesuai dengan amanat UUD 45 misalnya.
Kalau UU itu dibatalkan karena memang tak sesuai dengan amanat UUD 45, bukankah ratifikasi Perjanjian WTO juga menemui akan menemukan kendala?
Sepertinya, itu layak menjadi perdebatan para ahli hikum dan perlu.
Bila itu tak mustahil, kelak, ketika siapa menguasai nikel adalah dia yang menguasai dunia adalah benar adanya, bukankah itu tentang UUD 45 yang dibuat oleh para bapak pendiri bangsa ini benar adanya telah berpikir jauh ke depan?
Beliau – beliau itu sudah sangat yakin bahwa bangsa ini kelak memang akan tumbuh menjadi salah satu penguasa dunia?
Semua tergantung kita. Kita dapat saja berpuas diri dengan hasil yang ada dan mengaku kalah atau justru akan terus berjuang. Namun bila kita paham makna UUD 45 bagi bangsa ini, kita tak mungkin akan tunduk apalagi terlalu cepat angkat bendera putih bahkan meski itu terlihat mustahil.
RAHAYU
Sumber : Status Facebook Karto Bugel
Opini 21/09/2023 19:05
Opini 14/09/2023 22:48
Opini 31/08/2023 17:02
Opini 16/08/2023 21:45
Opini 13/08/2023 13:41
Opini 09/08/2023 21:36
Opini 01/08/2023 16:00
Opini 29/07/2023 20:00
Opini 26/07/2023 19:05
Opini 20/07/2023 19:05
Opini 07/07/2023 13:05
Opini 06/07/2023 12:05
Opini 04/07/2023 13:26
Opini 27/06/2023 17:31
Opini 26/06/2023 20:40
Opini 23/06/2023 15:47
Opini 21/06/2023 16:51
Opini 20/06/2023 14:50
Opini 19/06/2023 13:26
Opini 09/06/2023 01:05
Opini 06/06/2023 01:14
Opini 26/05/2023 02:42