Insinyur Jokowi Widodo bukan hanya Presiden Republik Indonesia, wakil bangsa Indonesia di dunia luar, sebagaimana terlihat di forum G-20 di Bali, melainkan bapak bagi seluruh republik ini, setidaknya selama hampir 10 tahun terakhir.
Selain itu, dia juga suami dari Iriana, ayah dari Gibran, Kahiyang dan Kaesang. Dia mertua dari Bobby Nasution, kakek dari Jan Ethes dan Sedah Mirah. Dia adalah kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan pimpinan Megawati Soekarnoputri. Selain juga merupakan putra daerah asli Kota Solo, dan menyandang gelar sebagai tokoh kehormatan di berbagai suku dan wilayah, dan figur pemersatu bagi para relawan pendukungnya.
Jadi apa masalahnya jika para relawan membuat acara untuk bertemu dengan tokoh yang didukungnya, di Stadion Gelora Senayan, Sabtu 26 November 2022 lalu?
Kita tentu tak habis mengerti mengapa para petinggi PDIP memberi reaksi negatif pada acara Nusantara Bersatu di Gelora Senayan, dengan segala dalihnya?
Hal hal yang tak relevan dipertanyakan oleh PDIP, seperti pertanyaan: Apa urgensinya?
Momennya dianggap tidak tepat, mendegredasikan keberhasilan Jokowi, mengerdilkan kepemimpinan Jokowi seusai memimpin Konferensi Tingkat Tinggi G20, dan seterusnya…
Tapi intinya sebenarnya adalah: Nyinyir ! Baper!
Apa yang dianggap “tidak tepat” bagi PDIP, belum tentu tepat bagi relawan Jokowi. Doa istighosah boleh jadi dianggap “tidak tepat” bagi warga Muhamadiyah. Tapi penting bagi kaum Nahdliyin di Nahdlatul Ulama. Setiap kelompok, setiap komunitas tentulah punya “momen urgen”-nya masing masing.
Tak perlu ditanggapi reaksi kubu oposisi dan politisi dari pihak anti Jokowi. Melekat dalam diri mereka “ahlak politik” kedengkian, yang menyalahkan apa saja yang dilakukan Presiden Jokowi. Di mata mereka Jokowi selalu salah dan salah 100 persen. Jokowi selalu negatif di mata mereka. Sudah lama mengembangkan kampanye “2019 Ganti Presiden”. Gagal, tapi tetap usaha. Memanfaatkan setiap kesempatan.
PDIP menyebut bahwa relawan seharusnya sensitif dengan kondisi sosial politik kita terkait dengan bencana di Cianjur, Jawa Barat. Itu alasan mengada ada. Sebab, Jokowi sudah dua kali mengunjungi lokasi bencana dan sudah mengerahkan menteri menteri terpentingnya di sana, termasuk Basuki Hadimulyono, Prabowo Subianto, Mahfud MD, Tri Risma Harini, Erick Thohir, dan lain-lain. Namun toh mereka tak mau mengerti.
Setelah kepala negara dan pejabat pusat berkunjung, bukankah selanjutnya BNPB, jajaran kementerian sosial dan aparat lokal serta para dermawan yang melanjutkan tugas, melayani para korbannya?
Apakah karena ada bencana di satu wilayah, semua aktifitas di ibukota dan daerah lain harus berhenti? Sungguh sangat tak logis.
Apakah hotel, karaoke, lokasi hiburan juga libur sebulan untuk menunjukkan duka karena ratusan korban gempa di Cianjur.
Sebagaimana diucapkan ketua penyelenggaranya, Silfester Matutina, acara temu relawan sudah dipersiapkan jauh jauh hari. Untuk acara yang mengerahkan massa hingga 150 ribu orang dan menggunakan area sebesar Gelora Bung Karno, tak mudah membatalkannya.
Banyak yang tidak ada di Gelora Senayan saat temu relawan itu, dan menyesal tidak hadir bersama 150 ribu lainnya. Dulu, 2019 lalu, pada kampanye terakhir PDIP dukung Jokowi, saat massa relawan “putihkan Jakarta” begitu banyak yang hadir. Dan samua bangga!
Faktanya dari panggung relawan di Gelora Senayan dikumpulkan sumbangan ratusan juta dan langsung dikirimkan ke lokasi.
Ini bukan respons yang telat pada acara Gelora Senayan, melainkan respons pada opini yang berkembang di media, kemudian terkait event itu. Opini melawan opini nyinyir!
MINGGU minggu ini, memang banyak politisi kebakaran jenggot dan sakit gigi, gara gara aksi Jokowi. Penolakan menghadiri ultah Nasdem, penyebutan rambut putih, wajah berkerut, dan pertemuan dengan relawan, menambah sakit gigi para politisi.
Dari kubu Nasdem ada tercetus pernyataan bahwa partai dan para politisi bukan bawahan Jokowi. Justru Jokowi terpilih karena partai dan politisi. Maka, tak ada yang salah, jika mereka mendukung capres dari kubu lainnya, meski masih kerja untuk Jokowi.
Sungguh tak bermoral. Tak ada akhlak. Masih “main proyek” di pemerintahan Jokowi, tapi “ngamen” di calon lain, yang berseberangan dan merupakan “antitesa Jokowi”.
Dari kubu PDIP ucapannya senada. Tanpa peran partai, Jokowi mustahil ke istana dan memimpin pemerintahan. Sehingga Jokowi harus patuh pada partai.
PDIP lupa, bahwa orang memenangkan Jokowi, tidak semata karena PDIP. Justru mereka memilih PDIP demi memenangkan Jokowi. Terbukti, ketika berkali kali mencalonkan Megawati, malah gagal. Tersingkir sebagai kubu oposisi, dan terpaksa banyak “puasa”.
Kini setelah Jokowi terpilih, mereka malah lupa diri. Sok penting!
(Sumber: Facebook Supriyanto Martosuwito)
Politik 20/03/2023 13:34
Politik 20/03/2023 11:57
Politik 17/03/2023 13:07
Politik 17/03/2023 11:38
Politik 17/03/2023 11:22
Politik 16/03/2023 13:00
Politik 16/03/2023 11:16
Politik 14/03/2023 15:08
Politik 14/03/2023 10:45
Politik 14/03/2023 10:30
Politik 13/03/2023 19:36