Opini

Pepih Nugraha : Paloh Tunggu 3 Menteri Dipecat, Mengapa?

Indah Pratiwi - 09/01/2023 08:44

Desakan mundur terhadap tiga menteri dari unsur Nasdem terus bergema. Terlebih-lebih setelah desakan itu digaungkan PDIP, partai berkuasa yang menganggap selain kinerja tiga menteri itu buruk, juga sudah tidak sejalan dengan arah dan kebijakan pemerintah.


Pemantik dari desakan mundur terhadap tiga menteri Nasdem, yaitu Johny G. Plate, Syahrul Yasin Limpo, Siti Nurbaya Bakar, adalah pernyataan bos Nasdem Surya Paloh yang “kesusu” mencalonkan Anies Baswedan sebagai calon presiden. Hal ini diperparah oleh “strategi politik” Nasdem yang menggarisbawahi bahwa Anies adalah “antitesa” Jokowi.

Benar bahwa Jokowi tak mungkin mencalonkan lagi sebagai capres untuk ketiga kalinya, sebab konstitusi membatasi hanya dua kali masa jabatan presiden.

Tetapi, Jokowi punya kepentingan untuk menjamin keberlangsungan program-programnya, khususnya di bidang infrastruktur, sehingga Jokowi sangat berkepentingan dengan siapa sosok yang bakal jadi presiden kelak sebagai pengganti dirinya.

Dengan Nasdem menyatakan bahwa Anies adalah “antitesa” Jokowi, maka jelaslah Nasdem sudah menyatakan “head to head” terhadap Jokowi, berikut koalisi partai di belakangnya yang menjadi gerbong kabinet di saat tiga menteri Nasdem masih menjadi bagian kabinet bentukan Jokowi.


Uniknya, tiga menteri itu terus bertahan -dengan kata lain tak kunjung menyatakan mundur- di tengah arus desakan yang begitu kuat. Di mata Jokowi dan anggota kabinet lainnya non-Nasdem, adalah janggal rapat-rapat kabinet dihadiri menteri yang telah berubah menjadi “menteri oposisi” yang dalam konteks kepartaian menjadi lawan karena sudah tak sejalan.

Inilah kelemahan dari “kabinet pelangi” akibat dari koalisi yang terbangun, baik saat menghadapi Pilpres maupun setelah pemerintahan terbentuk.

 

 

 

 

 

Presiden Joko Widodo sendiri punya gaya kepemimpinan tersendiri yang khas di mana ia cenderung memperkuat pemerintahan dengan menjadikan partai yang semula lawan sekalipun untuk bergabung di pemerintahan.

Tujuannya tidak lain untuk mengurangi tekanan oposisi yang kuat agar program pemerintah jauh dari gangguan. Dengan kata lain, melemahkan oposisi dan menjadikan oposisi yang ada sebagai “gurem” semata. Dan, ini telah terjadi.


Johnny G. Plate yang kini menjabat Menteri Komunikasi dan Informatika sering angkat bicara terkait desakan mundur tiga menteri Nasdem, sehingga boleh disebut “juru bicara” menteri Nasdem. Presiden Jokowi dalam berbagai kesempatan memberi sinyal perombakan kabinet akan dilakukan pada awal tahun 2023 ini.

Dalam keterangan tertulisnya baru-baru ini, Johnny G. Plate mengatakan dirinya masih sebagai anggota Kabinet Indonesia Maju. Membentuk, mengubah, atau mengganti anggota kabinet menurut dia sepenuhnya jadi kewenangan prerogatif Jokowi sesuai konstitusi Indonesia.

“Kami percaya dan yakin bahwa setiap partai politik di Indonesia memahami, memaklumi dan menjaga hak ‘constitutional prerogative rights president’ tersebut,” katanya. Pernyataan Johhny ini sama persis dengan apa yang telah dikemukakan Surya Paloh sebelumnya, usai pendeklarasian Anies sebagai capres Nasdem.

Dalam pandangan publik yang awam politik, tiga menteri Nasdem menyatakan mundur diri sekarang adalah lebih elegan dan terhormat daripada menunggu dipecat Jokowi dengan aroma tidak hormat. Dipecat tentu saja ada unsur “dipermalukan”, tetapi “mundur” sebelum dipecat jauh lebih terhormat.

Tetapi Surya Paloh tidak terlalu memikirkan “kehormatan” semacam itu. Strategi politiknya memang menunggu pemecatan dilakukan Jokowi untuk menimbulkan efek “terzolimi” yang dilakukan pemerintah Jokowi dan pribadi Jokowi sendiri terhadap Nasdem.

Ini senapas dengan investasi “terzolimi” lainnya saat kampanye dini Anies Baswedan di berbagai daerah mendapat penolakan atau setidak-tidaknya izin yang dipersulit oleh pemerintah daerah masing-masing untuk rapat umum di arena publik.

Surya Paloh juga tidak ingin meniru contoh sukses mundur dirinya dua menteri koordinator di kabinet Megawati Soekarnoputri, yaitu Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla, yang kemudian menjadi Presiden dan Wapres.


Juga tidak mau meniru 14 menteri yang menyatakan menolak bergabung dengan Kabinet Reformasi yang dibentuk Presiden Soeharto beberapa saat sebelum Soeharto sendiri menyatakan “berhenti” sebagai Presiden RI.

Dulu sebelum memutuskan mengundurkan diri 21 Mei 1998, dua hari sebelumnya Soeharto mengadakan pertemuan dengan berbagai tokoh masyarakat dan ulama dan menyatakan akan membentuk kabinet baru yang disebutnya sebagai Kabinet Reformasi.

Namun pada keesokan harinya, 20 Mei 1998, sebanyak 14 menteri yang tergabung dalam Kabinet Pembangunan VII menyatakan menolak bergabung dalam Kabinet Reformasi. Sebelum menyatakan menolak bergabung dengan Kabinet Reformasi, ke-14 menteri tersebut mengadakan rapat di Gedung Bapennas untuk menandatangani surat pernyataan yang kemudian dikenal sebagai Deklarasi Bapennas.

Adapaun Ke-14 menteri tersebut adalah:

1. Akbar Tandjung (Menteri Perumahan Rakyat dan Pemukiman),

2. A.M. Hendropriyono (Menteri Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan),

3. Ginandjar Kartasasmita (Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri/Kepala Bappenas),

4. Giri Suseno Hadihardjono (Menteri Perhubungan),

5. Haryanto Dhanutirto (Menteri Pangan, Hortikultura, dan Obat-obatan),

6. Justika S. Baharsjah (Menteri Pertanian).

7. Kuntoro Mangkusubroto (Menteri Pertambangan dan Energi),

8. Rachmadi Bambang Sumadhijo (Menteri Pekerjaan Umum),


9. Rahardi Ramelan (Menteri Riset dan Teknologi/Kepala BPPT),


10. Sanyoto Sastrowardoyo (Menteri Investasi/Kepala BKPM),

11. Subiakto Tjakrawerdaya (Menteri Koperasi dan Pengusaha Kecil),

12. Sumahadi (Menteri Kehutanan dan Perkebunan),

13. Tanri Abeng (Menteri Pendayagunaan BUMN),

14. Theo L. Sambuaga (Menteri Tenaga Kerja).

Saat itu sosok terkemuka dari mundurnya 14 menteri itu adalah Akbar Tanjung. Mantan ketua umum Golkar itu beralasan, menteri yang hadir dalam rapat Bapennas menyepakati untuk tidak bergabung dalam Kabinet Reformasi karena masalah-masalah yang dihadapi oleh menteri, terutama krisis ekonomi, tidak bisa diperbaiki lagi dengan pendekatan ekonomi.

Sejarah mencatat, ke-14 menteri yang mundur itu “terselamatkan” -setidak-tidaknya nama baiknya- dan menjadi “pemenang”, sedang Soeharto dan loyalisnya dianggap sebagai pecundang.

Pernyataan menarik disampaikan Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Ali Mochtar Ngabalin yang menyebut reshuffle kemungkinan akan dilakukan pada Januari 2023 ini. Dia meminta menteri yang nantinya diganti untuk tetap bersemangat dan tersenyum seperti saat awal dipilih. Apalagi marah, bahkan sampai dongkol.

“Karena waktu Anda sudah sampai di sini saja. Tetap dan harus berterima kasih pada Presiden (Jokowi) saat diangkat dan diberhentikan oleh beliau,” kata Ngabalin.

Pernyataan Ngabalin kadang “nyebelin”, khususnya buat tiga menteri Nasdem yang posisinya kini benar-benar sedang berada di ujung tanduk.

(Sumber: Facebook Pepih Nugraha)

TAG TERKAIT :
Nasdem Tenggelamkan Nasdem

Berita Lainnya