Opini

Pepih Nugraha : Mengapa Harus Gusar dengan Megawati?

Indah Pratiwi - 16/01/2023 15:19

Tulisan ini takkan memuaskan pendukung Ganjar Pranowo, pendukung diam-diam Puan Maharani, pendukung fanatik Jokowi atau bahkan perundung (bully) Megawati. Sebaliknya tulisan ini menyebalkan bagi perundung Puan, Perundung Ganjar, perundung PDIP dengan Megawati di dalamnya.


Simak judulnya saja “Mengapa Gusar dengan Megawati?” pendukung Ganjar tentu mengatakan, “Ya kami gusar karena jangankan mengumumkan pencapresan Ganjar jagoan kami, Megawati malah mengerdilkannya dan malah memberi sinyal dukungan kepada Puan yang elektabilitasnya jeblok.”

Pendukung fanatik Jokowi berteriak lain lagi, “Sesungguhnya siapa yang harus dikasihani, ya? Pilpres 2004 dan 2009 Megawati kalah menyakitkan, Pilpres 2014 dan 2019 berkat mencapreskan Jokowi PDIP menjadi partai berkuasa dan bisa tertawa selama dua periode, kami memilih Jokowi, bukan PDIP!”

Ihwal kegusaran paling kentara ditunjukkan para pendukung Jokowi dengan merundung Megawati setelah pernyataan Megawati berikut:

“Pak Jokowi iku yo ngono lho mentang-mentang. Lho iya padahal Pak Jokowi kalau nggak ada PDIP juga aduh kasihan dah,” kata Megawati dalam pidato perayaan HUT ke-50 PDIP di JIExpo, Jakarta, Selasa.


Lantas pendukung Jokowi pun melempar balik pernyataan Megawati; siapa yang harus dikasihani? Disusul pernyataan keras; PDIP itu akan mengalami nasib seperti Pilpres 2004 dan 2009 tanpa Jokowi!

Orang pun ramai-ramai menafsirkan pidato Megawati yang intinya -dari kacamata publik- merendahkan Joko Widodo selaku Presiden RI yang sejatinya bukan hanya milik PDIP, tetapi sudah milik seluruh parpol yang ada, milik seluruh bangsa Indonesia. Sehingga, tidak selayaknya Megawati merendahkan Jokowi sekeji itu di depan publik yang notabene rakyat Indonesia.

Terlebih bagi sebagian elite PDIP yang tiba-tiba berusaha memadamkan api opini yang menjalar sedemikian buruk, yang merendahkan Megawati bahkan sampai berujung pada penghinaan terhadapnya sedemikian keji, bahwa bukan maksud Megawati begini atau begitu terhadap Jokowi.


Cobalah sesekali melihat dari kacamata Megawati sendiri. Bagi saya pribadi yang pernah mengenalnya dekat, dia perempuan tangguh yang pernah lahir di negeri ini. Anda generasi yang mungkin saat ini ikut-ikutan merundung dan menghina Megawati, mungkin tidak merasakan betapa kerasnya Soeharto dalam membunuh lawan-lawan politiknya, termasuk Megawati.

Tetapi, Megawati melawan Soeharto tanpa rasa takut dan terbukti, peran besar kejatuhan Soeharto setelah ia menjatuhkan Megawati.

Tahun 1999 saat PDIP berjaya dalam Pemilu, Presiden RI yang seharusnya Megawati, tetapi Megawati ditelikung komplotan politikus Sengkuni yang berakibat dia hanya kebagian jatah wakil presiden dengan Abdurrahman “Gus Dur” Wahid sebagai presidennya.

Apakah Megawati berontak atas trik licik lawan-lawan politiknya ini? Tidak, karena ia paham pemilihan Presiden RI saat itu masih dilakukan MPR di mana partai pemenang pemilu tidak lantas memenangkan ketua umumnya (atau calonnya) sebagai Presiden. Toh Megawati menerima jabatan wapres sampai mendapat “lungsuran” jabatan Presiden setelah Gus Dur “dikudeta” kembali gerombolan Sengkuni yang menaikkannya.

Kalau pada HUT ke-50 PDIP Megawati berusaha meneguhkan kembali siapa dirinya yang sesungguhnya, barangkali sekadar mengingatkan siapapun untuk tidak melupakan “Ibu”. Lihatlah, ia menyebut dirinya “Ibu”, bukan lagi “Mbak” atau “Mbak Mega”. Ada gradasi penyebutan yang sengaja ia bedakan seiring perjalanan usia.

Megawati ingin memperoleh pengakuan bahwa dia adalah Subjek dari seluruh Objek politik yang ada, bukan hanya di lingkup PDIP, melainkan di scope nasional. Sekali lagi, ini dari kacamata Megawati.

Benar bahwa Megawati terkesan merendahkan dan mengerdilkan peran Jokowi sebagai sosok yang dicintai rakyat, tetapi tidak bisa dipungkiri Jokowi takkan jadi siapa-siapa juga jika tidak didorong PDIP sebagai capres di dua kali Pilpres. Itu tadi, pendukung fanatik Jokowi sebaliknya beranggapan, apa bisa PDIP memanangi dua kali Pilpres kalau capresnya bukan Jokowi?


Tetapi mengapa perundung Megawati demikian membenci sosok putri proklamator sebagai “nenek yang sedang ngelantur” hanya karena ia dianggap merendahkan Jokowi dan tidak kunjung mencalonkan Ganjar sebagai capres PDIP?

Padahal, Megawati mungkin saja punya strategi tersendiri untuk tidak terburu-buru mengumumkan capresnya; Ganjar maupun Puan, atau siapapun di luar dua nama itu. Padahal, perundungnya juga tidak mengenal Megawati dan mungkin bukan anggota atau simpatisan PDIP. Karena kalau anggota PDIP, mereka patuh pada satu komando. Aneh, bukan?

Dari kacamata pendukung fanatik Jokowi, inilah yang berangkali berpotensi menurunkan elektabilitas PDIP sebagai parpol peserta pemilu di 2024 nanti. Bagi mereka, “nothing to lose” saja karena Jokowi sudah tidak mungkin mencalonkan lagi. Di antara mereka bahkan ada yang mengatakan, andai Jokowi kelak mendirikan PDI Perubahan, misalnya, PDIP yang sekarang ada bakal gembos di Tahun 2029. Ya, namanya juga sedang gusar.

Mungkin sebagian pendukung Jokowi beralih ke Ganjar (apalagi kalau Jokowi mengeluarkan sinyal dukungan) yang belum tentu dicalonkan PDIP sebagai capres karena menjadi hak prerogatif Megawati. Maka tak pelak, kegusaran pendukung Ganjar membuncah saat nama Ganjar tak lebih penting dibanding Tardi, kader PDIP yang koruptor itu.

Marah boleh, gusar boleh, pun kecewa pun boleh, tetapi ya tetap harus dengan takaran yang pas saja, khususnya dengan melihat ke dalam; siapa diri kita ini dan apa hubungan kita dengan Megawati dan PDIP?

Tentu pesan pengingat ini saya tujukan kepada diri saya sendiri sebagai pendukung Jokowi yang sampai saat ini belum menentukan pilihan siapa bakal capres yang akan saya dukung, bahkan mungkin sampai Pilpres 2024 tiba.

(Sumber: Facebook Pepih N)

TAG TERKAIT :
Megawati Soekarnoputri Megawati Mega Bu Mega

Berita Lainnya