Sebagian besar suara kritik terhadap pidato Megawati hampir satu minggu lalu argumennya mengarah pada soal etiket komunikasi, kalau bahasa dulu jaman pemerintahan Presiden SBY adalah soal kesantunan politik, atau ketidak-elok-an .
Sayangnya banyak kalangan melupakan dalam pidatonya lalu ada fundamen politik yang disampaikan sebagai sesuatu yang selama hilang dalam kancah politik kita.
Politik yang diwariskan dalam tradisi perdebatan maupun kelugasan perbincangan dalam tradisi pendiri republik dan setidaknya masih kita dengarkan sampai Gus Dur adalah dinamika politik elite tidak pernah berlangsung secara tertutup dan tak terjangkau oleh rakyat. Mega menampilkan kembali tradisi politik tersebut yang selama ini terkubur oleh dominasi politik “kesantunan” dan “keelokan”. Segala uneg-uneg, ketegangan sebagai bagian dari dinamika elite politik, dia sampaikan langsung dihadapan massa kader partai maupun publik yang menonton pidato tersebut baik di tivi maupun sosial media.
Lalu mengapa publik bersikap seperti seolah-olah Megawati menghina Presiden Jokowi? Bahkan sampai lebay menyatakan Mega menghina Presiden sebagai simbol negara ( orang yang bilang itu gak paham bahwa dalam republik mana ada simbol negara itu orang atau pemimpin, yang ada itu simbol negara bendera, lagu kebangsaan, dasar negara).
Karena terlalu dalamnya bius common sense yang namanya politik kesantunan atau keelokan dalam mentalitas politik kita, sampai lupa bahwa ikatan yang mendalam dan tanda dari seorang yang peduli kepada sahabatnya dan perhatian tulus adalah sikap untuk mengingatkan untuk kebaikan. Sikap dan keberanian untuk mengingatkan bahwa dua periode itu sudah cukup, jangan ditambah-tambah. Bahkan Mega mengingatkan itu melalui kisah politik tragis ayahnya sendiri Presiden Sukarno yang di fait accomply Presiden Seumur Hidup oleh MPRS, sesuatu yang oleh Sukarno sendiri ditolak mentah-mentah!
Tradisi politik demokratik lainnya adalah Mega mengingatkan tentang koneksitas rakyat-partai politik- pemerintahan. Pemerintahan eksekutif dalam trajektori politik modern selalu bersambung dengan ideologi dari partai yang mencetak kadernya sebagai pemimpin. Itulah fungsi rekruitmen politik dari partai politik.
Dalam konstelasi politik Indonesia saat ini baik PDI Perjuangan maupun poros dari kalangan yang menempatkan posisi dan klaim politik sebagai lingkaran kekuasaan istana adalah kekuatan besar dalam realpolitik di Indonesia. Keseimbangan politik untuk berani mengingatkan adalah salah satu syarat penting tapi bukan satu-satunya untuk memulihkan demokrasi kita.
Banyak dari kita berkomentar ketika pemerintahan atau lingkaran elite disekitar pemerintahan keluar dari rel garis demokrasi, salah satu yang dihantam adalah partai pengusung, namun ketika partai politik menyampaikan sikapnya, kita langsung mencibirnya dengan argumenn etiket, keelokan dan kesantunan.
Jangan-jangan ada tiga hal bersemayam membentuk bias di kepala kita. Bias pemimpin tidak boleh dikritik dengan blak-blakan, bias gender yang dalam frame media dan akhirnya frame di kepala kita selalu terpusat untuk memilih sudut pandang yang buruk dalam keseluruhan orasi, dan ketiga bias intelektual dan keterpelajaran yang ironisnya melupakan substansi dan fokus pada chasing gaya dan ekspresi bicara. Itulah riwayat negeri yang melupakan bagaimana tradisi politiknya yang maju sudah terbangun sejak awal kesejarahannya.
Sumber : Status Facebook Airlangga Pribadi
Opini 20/03/2023 22:55
Opini 20/03/2023 20:40
Opini 18/03/2023 15:47
Opini 17/03/2023 11:13
Opini 16/03/2023 15:50
Opini 15/03/2023 16:50
Opini 14/03/2023 12:48
Opini 10/03/2023 12:40
Opini 09/03/2023 11:23
Opini 08/03/2023 13:30
Opini 07/03/2023 08:30
Opini 03/03/2023 01:00
Opini 27/02/2023 21:24
Opini 25/02/2023 12:23
Opini 23/02/2023 23:58
Opini 22/02/2023 22:00
Opini 22/02/2023 18:25
Opini 20/02/2023 21:02
Opini 20/02/2023 16:02
Opini 18/02/2023 13:30
Opini 16/02/2023 09:55
Opini 14/02/2023 16:16