Tiba - tiba kita dibuat sibuk berpolemik. Tak penting ribut gagasan itu berangkat dari data atau hanya sekedar asumsi pribadi. Seperti biasa, kita terbawa larut dalam debat yang ga akan ketemu ujungnya.
Kita ribut tentang isu perubahan masa jabatan Kepala Desa.
"Gila apa, masak 3 kali 6 tahun masih kurang dan sekarang minta 9 tahun? Berkuasa kok minta 27 tahun?" Cuit Robert melalui akun tuiternya.
Setelah dijawab bahwa pemahamannya salah tentang kesimpulannya yang 27 tahun itu dengan jawab tetap 18 tahun namun kini dengan 2 kali 9 tahun, dia masih marah.
"Tetap aja ngawur!! Emang boleh jabatan Presiden yang 2 kali 5 tahun itu diubah dengan 1 kali 10 tahun?" balasnya lagi.
Ya, debat dengan cara seperti itu memang tak akan ketemu kata sudah. Yang penting ngèyèl dan punya jawaban, meski tanpa data, itu akan terus dilakukan.
Pada cuitan yang lain, seorang Herry berteriak marah :
"Makin panjang jabatan, makin gila korupsi yang akan dilakukan oleh para Kepala Desa itu."
Benarkah?
Bila asumsi dan rasa kita yang bicara, tak terlalu salah Herry bicara seperti itu. Dia terlalu sering mendengar berita tentang Kepala Desa yang tertangkap tangan melakukan korupsi.
Data KPK menyebut ada sebanyak 686 kepala desa terjerat korupsi dana desa di 601 kasus. Ratusan kasus itu terjadi sejak 2012 hingga 2021.
Itu seperti telinga kita mendengar cerita berulang dan lalu terjadi lagi. Itu bicara kejadian yang bila dibuat rata - rata, setiap 1 minggu sekali terjadi penangkapan Kepala Desa oleh KPK.
Pengulangan yang terus kita dengar, menuntun pada pembentukan persepsi di kepala kita. Para Kepala Desa seolah adalah subyek paling senang korupsi, menjadi benar karena data yang kita dengar bicara seperti itu.
Itu berbeda dengan Gubernur atau Bupati misalnya. Data KPK menunjukkan bahwa sejak 2004 hingga Januari 2022 ada 22 gubernur dan 148 bupati atau walikota yang ditangkap KPK.
Pada Gubernur, bila telinga kita akan mendengar, kejadian itu hanya akan berulang dalam jangka kurang lebih 1 tahun sekali.
Pun pada Bupati, rata - rata dalam 1,5 bulan sekali, telinga kita baru akan dengar berita bahwa mereka ditangkap.
Artinya, ketika 48 kabar bahwa Kepala Desa yang ditangkap namun disisi lain tersanding dengan 1 orang Gubernur, dan 6 Kepala Desa ditangkap disandingkan dengan hanya 1 Bupati, anda tahu persepsi seperti apa yang akan terbentuk pada kepala kita.
Padahal, bila data kita ungkap, meski Gubernur yang melakukan korupsi dan tertangkap rata - rata hanya terjadi dalam waktu setahun sekali, ternyata itu adalah pejabat pemerintahan paling korup di Indonesia.
Itu setara dengan hampir 70 persen. Itu masuk akal bila dihitung bahwa jumlah provinsi kita adalah 34 dan dari 34 Gubernur yang ada, dari tahun 2004 hingga 2022, ternyata ada 22 Gubernur melakukan korupsi.
Pun pada Bupati, dari 415 Kabupaten dan yang melakukan korupsi berjumlah 148 orang, itu sekitar 35 persen.
Bandingkan dengan Kepala Desa, dari 74 ribu lebih Kepala Desa yang ada, di sana ada 686 orang terjerat korupsi. Bila kita mau berhitung, itu sangat sedikit. Itu bahkan tak sampai 1 persen nya saja.
"Tapi bukankah total waktu jabatan 18 tahun memang terasa aneh? Bukankah Presiden, Gubernur dan Bupati saja hanya 2 kali 5 tahun?"
Itu bukan tentang subjektivitas para pihak yang berdebat saja namun juga tentang aturan atau Undang Undang yang ada dan berlaku. Tak banyak dari kita mengetahui bahwa aturan itu sudah berlaku sejak lama.
Banyak dari kita yang tak begitu paham atas aturan main tentang lama jabatan Kades namun sering menarik kesimpulan bahwa 3 kali 6 tahun dan diminta ubah menjadi 2 kali 9 tahun melanggar UU, terlebih UUD 45.
Itu salah kaprah. Itu hanya soal termin waktu, soal masa jabatan yang pada kenyataannya memang selalu berubah.
Paling tidak, sudah ada empat UU yang bicara dan mengatur hal ini. Hingga tahun 1979 sejak negara ini merdeka, aturan tentang lama masa jabatan Kepala Desa, tidak diatur dalam aturan khusus.
Sebelum UU Nomor 5 tahun 1979 berlaku, masa jabatan Kepala Desa bisa dibilang tidak dibatasi. Banyak diantara mereka yang justru dapat menjabat posisi itu untuk seumur hidup.
Dan lalu, ketika UU No 5 tahun 1979 berlaku, di sana ada aturan bahwa masa jabatan Kepala Desa adalah 8 tahun dan boleh 2 periode.
UU itu kemudian direvisi menjadi UU Nomor 22 tahun 1999. Pada klausul masa jabatan Kepala Desa, UU memberi waktu 5 tahun dan tetap 2 periode.
Pada 2004, UU itu direvisi lagi. Revisi pada UU Nomor 32 tahun 2004 terkait masa jabatan Kepala Desa, diubah lagi menjadi 6 tahun dan 2 periode.
Terakhir, pada 2014, UU nomor 6 tahun 2014 bicara tentang masa jabatan Kepala Desa yang lamanya adalah 6 tahun dan namun dengan 3 periode.
Artinya, bila UU itu untuk sekali lagi akan dan harus direvisi, seharusnya itu bukan soal melanggar ini dan itu. Itu sebuah keniscayaan. Itu normal karena hingga hari ini, paling tidak, sudah ada 4 versi UU yang pernah berlaku.
Bagus yang mana, itu soal kebutuhan dan tentu saja harus sesuai dengan perkembangan zaman.
Lantas, apakah lama jabatan 2 kali 9 tahun itu sesuai dengan perkembangan zaman, bukan Budiman Sudjatmiko atau PKB punya interpretasi tapi banyak orang pintar sudah berembug dan diskusi soal itu.
Tidak ada urgensinya kita marah pada Budiman atau PKB karena sebab Budiman dan PKB ada di balik rencana perubahan itu. Itu tidak masuk akal.
Pun bila Budiman diundang Presiden, itu soal subjektifitas pak Jokowi. Suka - suka beliau untuk bicara dengan siapapun.
Bahwa Budiman yang justru dipanggil, pak Jokowi hanya ingin pendapat profesional Budiman. Di matanya, sosok ini memang pantas jadi rujukan manakala bicara soal Desa.
Dan bahkan, Budiman pun tidak pernah klaim isu itu sebagai buah pikirnya. Dia terlibat dalam banyak diskusi terkait hal tersebut, itu sudah pasti dan ga perlu diperdebatkan.
Bila ada kebaruan, itu soal PP yang kabarnya akan dikeluarkan oleh pemerintah. Itu terkait penggunaan Dana Desa agar lebih tepat guna. Tak melulu soal infrastruktur berupa bangunan dan jalan, namun peningkatan SDM Desa.
Dan PP itu konon akan dikeluarkan oleh Presiden setelah beliau mendengarkan presentasi Budiman terkait penggunaan Dana Desa.
"Trus siapa di balik wacana perubahan masa jabatan ini?"
Paling tidak, kabar bahwa wacana 2 kali 9 tahun itu sudah dijadikan diskusi dalam banyak ruang dialog sejak tahun 2019 yang lalu. Itu lintas sektoral dengan banyak isi kepala sudah saling berargumentasi.
Bahwa baru pada awal tahun 2023 ini para Kepala Desa menuntut agar diskusi panjang dan melelahkan itu dilanjutkan dengan dimasukan dalam UU, itu wilayah DPR. Konon, itu sudah masuk dalam prolegnas 2023.
Jadi, menuduh para Kepala Desa punya motif ingin melanggengkan korupsi di balik upaya mereka menggolkan perubahan masa jabatan 2 kali 9 tahun sepertinya tidak pantas kita tuduhkan. Data TIDAK bicara seperti itu.
Itu hanya soal persepsi. Namun, agar rasa curiga masyarakat tak lagi meluas, ada baiknya bila revisi UU Desa terkait masa jabatan itu kembali didiskusikan lebih terbuka.
Publik atau masyarakat yang teredukasi dengan baik adalah hakikat dari era keterbukaan itu sendiri.
.
.
RAHAYU
.
Karto Bugel
Opini 20/03/2023 22:55
Opini 20/03/2023 20:40
Opini 18/03/2023 15:47
Opini 17/03/2023 11:13
Opini 16/03/2023 15:50
Opini 15/03/2023 16:50
Opini 14/03/2023 12:48
Opini 10/03/2023 12:40
Opini 09/03/2023 11:23
Opini 08/03/2023 13:30
Opini 07/03/2023 08:30
Opini 03/03/2023 01:00
Opini 27/02/2023 21:24
Opini 25/02/2023 12:23
Opini 23/02/2023 23:58
Opini 22/02/2023 22:00
Opini 22/02/2023 18:25
Opini 20/02/2023 21:02
Opini 20/02/2023 16:02
Opini 18/02/2023 13:30
Opini 16/02/2023 09:55
Opini 14/02/2023 16:16