Dalam Rakernas Partai Ummat beberapa hari lalu (14/2/23), ketum yang merangkap menantu Amien Rais, menyatakan bahwa Partai Ummat berazaskan sebagai partai yang menjalankan politik identitas. Mengagetkan? Tidak begitu bagi yang mengerti siapa AR.
Politik identitas adalah keniscayaan, tidak ada yang salah di situ dalam pemahaman demokrasi. Karena demokrasi memang memberi ruang identitas mendapat jalannya untuk diperjuangkan dalam koridor demokrasi, yakni tunduk pada aturan atau kesepakatan bersama. Pemilu adalah festival identitas-identitas sebenarnya. Kayak dipasar kaget, dipili, dipili, dipili,…
Dalam demokrasi, kaum minoritas yang terpinggirkan, mendapatkan perilaku tidak adil atas identitasnya, mendapatkan kesempatan dalam Pemilu atau praktik demokrasi. Di situ sesiapa memperjuangkan hak dan kelasnya, agar diakui, diikuti, atau setara dengan yang lain (tetapi) melalu jalur politik yang disebut demokrasi.
Yang berbahaya atau yang salah bukan politik identitas, tetapi politisasi identitas, dan apalagi di luar kesepakatan yang kita sebut demokrasi (misal tidak melalui Pemilu). Politisasi identitas itu seperti politisasi kesukuan, agama, primordialisme, sektarianisme, dan lain sebagainya. Yakni mempolitikkan nilai-nilai yang menjadi identitasnya bukan saja untuk dimengerti, tetapi memaksa liyan untuk meyakininya pula. Pada sisi pemaksaan itu, demokrasi jadi rusak atau tidak berlaku.
Namun sekali pun dalam sistem, menjalankan politik identitas juga riskan. Pasalnya, ibarat berjalan di gigir jurang, kemungkinan untuk terpeleset atau terjatuh ke jurang, lebih besar dibanding yang berjalan jauh dari gigir jurang. Meskipun dalam adagium Jawa, ada dikatakan ‘kesandung ing rata, kebentus ing awang-awang’.
Betapa dahsyat dan sufinya kebijakan itu. Bayangkan, bagaimana mungkin orang bisa keserimpet, tersandung, di jalanan rata? Bagaimana mungkin kepala kita bisa kejedot di angkasa raya yang tak berbatas?
Orang Jawa memang sakti. Yang sakti. Yang tidak sakti jauh lebih banyak.
Karena melaksanakan demokrasi butuh syarat dan ketentuan berlaku. Syarat dan ketentuannya ialah kesetaraan pemahaman, disiplin dan penghargaan pada aturan atau kesepakatan bersama. Dan itu soal literasi.
Tanpa dukungan literasi, mempraktikkan politik identitas sama halnya mendukung anak-anak klithih di Yogya, dengan memberi pelatihan memanah. Hanya ngerti nilai filosofisnya, tetapi tidak tahu bagaimana membuat metoda itu masuk memanah hati pelakunya, agar mampu mengembangkan rasa dan nalarnya?
Sialnya, demokrasi kita yang elitis, tidak memberi ruang pencerahan untuk rakyat jelantah. Para elit politik cenderung mengeksploitasi ketidaktahuan publik, entah dengan claiming atau bullying. Mendaku paling benar, mendiskreditkan liyan.
Misal, Amien Rais menjelang Pilres 2019 menyatakan kesediaannya dicapreskan. Ia terinspirasi Mahathir Mohamad, yang dalam usia 95, memenangi kontestasi sebagai PM Malaysia (2018). Waktu itu, PAN sedang mencari jalan, tetapi dukungan tak didapat. Yang terjadi, diujung tahun itu, AR terlibat konflik dan mencelat dari PAN untuk kemudian mendirikan Partai Ummat. Gimana kalau elite separtai saja tak bisa berdamai dengan konflik internalnya?
Dalam rakernas partai barunya kemarin, ketika Amien Rais disodori kemungkinan, bagaimana kalau menjadi Wakil Presiden Anies Baswedan? Sepertinya Anies ngarep, karena memuja Amien Rais sebagai pejuang Reformasi 98 yang luar biasa. Sayangnya, beda dengan 2019, Amien Rais menolak dengan alasan dirinya sudah tua. Bagaimana kalau dibalik, Amien Rais capresnya, dan Anies Baswedan cawapresnya? Masih merasa tua?
Claiming dan bullying menjadi begitu khas kepolitikan kita. Dan rakyat jelantah juga sekedar ikutan yang di atas. Kalau elite politik transaksional, maka yang ngebubarin ormas relawannya kemarin, bisa menjual ktp anggota ormas relawan untuk berpindah dukungan. Asal harga cocok.
Apalagi, bisalah dibayangkan jika politik elitis itu dijalankan tanpa nilai-nilai etis. Jadinya nylekuthis dan bau amis, juga lamis, tak hanya hari kamis.
Wong dalam rakernas partai yang konon bersendi pada nilai-nilai agama itu, terjadi pelecehan seksual. Kata orang dalam, khas politikus amis dan lamis, ada penyusup. Kalau menurut dokter, hanya yang imunitasnya rendah bisa disusupi virus. Apalagi dengan dalih politik identitas. |
Sumber : Status Facebook Sunardian Wirodono III
Opini 06/06/2023 01:14
Opini 26/05/2023 02:42
Opini 23/05/2023 00:15
Opini 22/05/2023 06:51
Opini 17/05/2023 15:06
Opini 16/05/2023 13:39
Opini 16/05/2023 09:05
Opini 12/05/2023 00:30
Opini 07/05/2023 13:22
Opini 06/05/2023 15:34
Opini 04/05/2023 14:44
Opini 03/05/2023 16:55
Opini 02/05/2023 14:54
Opini 20/04/2023 10:30
Opini 18/04/2023 22:17
Opini 18/04/2023 18:30
Opini 18/04/2023 00:25
Opini 17/04/2023 20:39
Opini 14/04/2023 12:30
Opini 14/04/2023 09:18