Opini

Tafsir Perjumpaan Prabowo-Paloh

Indah Pratiwi - 10/03/2023 12:40
Oleh: Pepih Nugraha

Jika bisa diandaikan Demokrat dan PKS itu manusia yang punya hati, bagaimana kira-kira perasaan mereka berdua tatkala boss Nasdem Surya Paloh tiba-tiba berkunjung ke Hambalang dan mengadakan pertemuan dengan Prabowo Subianto?


Galau dan serasa dipermainkan, mungkin demikian perasaan Demokrat dan PKS atas perjumpaan Prabowo-Paloh!

Bagaimana tidak, Paloh melalui partai yang didirikannya telah sejak lama mengusung Anies Baswedan sebagai calon presiden, malah belum “duduk bertiga” dalam sebuah deklarasi besar-besaran koalisi yang mereka namakan Koalisi Perubahan. Sementara, PKS dan Demokrat telah sama-sama sepakat mengusung sosok yang sama, tetapi Surya sebahai motor penggerak malah bertepuk sebelah tangan!

Persuaan Prabowo-Paloh tidak lepas dari konteks politik kekinian jelang kontestasi Pilpres 2024. Sungguh naif kalau pertemuan itu hanya dimaknakan sebagai pertemuan biasa. Bagaimanapun, sangat terbuka untuk menafsirkan apa makna sesungguhnya di balik pertemuan dua tokoh tersebut.


Tafsir Pertama, kangen-kangenan alias melepas kerinduan sebagai dua teman yang sama-sama jebolan “universitas” Golkar semasa Presiden Soeharto berkuasa. Angin reformasi membawa para petinggi Golkar seperti Prabowo, Wiranto, Edy Sudradjat, Susilo Bambang Yudhoyono dan Surya Paloh membuat partai baru.

Partai yang didirikan Prabowo, yaitu Gerindra dan Nasdem yang didirikan Surya Paloh boleh dibilang berhasil karena telah mendudukkan anggota parlemen dalam jumlah yang signifikan. Adapun Demokrat yang didirikan SBY dan kawan-kawannya juga partai yang selama dua periode menjadi “the rulling party”, dari tahun 2004 hingga 2014.

Jika benar tafsir “sekadar” temu-kangen, maka di balik temu-biasa itu tersemat pesan politik yang sangat gamblang, yang bukan sekadar pertemuan biasa.

Tafsir Kedua, suka atau tidak ini menunjukkan kelincahan dan keluwesan Surya Paloh dalam berpolitik di level elite. Sebagai sesama anggota “Koalisi Jokowi” di kabinet yang saat ini menjalankan roda pemerintahan, pertemuan Prabowo-Paloh memberi sinyal dukungan kepada pemerintah. Ibarat bermain karambol, kedatangan Surya Paloh ke kediaman Prabowo di Hambalang menunjukkan bahwa boss Metro TV itu tetap mendukung Jokowi, sekaligus untuk menurunkan tensi politik yang sempat memanas akhir-akhir ini.


Tidak bisa dipungkiri, Surya Paloh yang dianggap “kesusu” (terburu-buru) mencalonkan Anies Baswedan sebagai capres telah mengecewakan “Koalisi Jokowi”, khususnya PDIP yang merupakan pemegang saham terbesar di koalisi pemerintah ini.

Partai pimpinan Megawati Soekarnoputri inilah yang mendesak Jokowi selaku Presiden untuk segera “mengusir” tiga menteri Nasdem yang masih berada di kabinet. Isu “reshuffle” sempat mewarnai berita politik nasional selama beberapa pekan, namun belum terjadi setidaknya sampai tulisan ini ditayangkan.

Selain itu, “blunder” yang sesungguhnya menunjukkan realitas politik yang terjadi, yakni mengemukanya faktor Anies sebagai “antitesis” Jokowi yang pernah dilemparkan Zulfan Lindan, membuat Surya Paloh kelimpungan juga. “Antitesis” mau tidak mau dimaknakan sebagai “berkebalikan”.

Jika Jokowi berhasil menurut survei kepuasaan publik, maka bisa ditebak apa kebalikannya untuk Anies kelak. Jika Jokowi pekerja keras, tinggal dicari saja kebalikannya, bukan? Sungguh merepotkan, terlebih lagi isu “meneruskan program Jokowi” diangkat sebagai tema kampanye strategis siapa saja yang menjadi capres. Bisa dibayangkan kampanye “antitesis” antara yang pro dan kontra pembangunan IKN (Ibu Kota Negara) di Kalimantan Timur.

Tidak heran jika Surya Paloh lewat pernyataan Anies sendiri menegaskan akan melanjutkan program IKN Jokowi hal mana sangat bertentangan dengan semangat “antitesis” itu sendiri.

Tafsir Ketiga, Surya Paloh hendak mengabarkan kepada Demokrat dan PKS bahwa selain Anies yang kini sudah atas kendalinya, mencari bakal cawapres bagi Anies adalah urusannya juga.

Demokrat tentu ingin Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) yang menjadi cawapres bagi Anies dengan seabrek argumen kepantasannya. Demikian pula PKS mau Ahmad Heryawan yang jadi cawapres mengingat mantan gubernur Jabar dua periode itu ia anggap lebih pantas. Sebuah debat “pepesan kosong” yang tidak akan selesai sampai di ujung.


Tafsir Keempat, berkaitan dengan upaya mencari cawapres bagi Anies, Surya Paloh kemudian menawarkan kepada Prabowo kombinasi dengan mengawinkan kembali pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno sebagai pasangan Pilkada DKI 2017 untuk Pilpres 2024. Ini semacam “politik nostalgia” yang dianggap membawa keberuntungan.

Tetapi suasana sudah berbeda. Kini Prabowo adalah calon presiden yang diusung Gerindra dengan Sandiaga Uno sebagai salah satu “pejabat teras” partainya. Sandiaga Uno adalah urusan Prabowo.

Tentu saja permintaan mengawinkan Anies-Sandiaga ditolak mentah-mentah Prabowo melalui konferensi pers bersama dan keduanya (Prabowo-Paloh) sama-sama menghormati jalan politik berbeda yang ditempuh masing-masing, yang penting menjaga kedamaian dan kepentingan yang lebih besar, yaitu untuk bangsa dan negara Indonesia.

Tafsir Kelima, dengan isu mengawinkan “politik nostalgia”

Anies-Sandiaga yang meskipun gagal diwujudkan, tetaplah Surya Paloh dapat menakar bahwa kedua partai bakal teman sekoalisi, yaitu Demokrat dan PKS, bereaksi keras menolak cawapres dari luar Demokrat-PKS, bahkan cawapres itu bernama Sandiaga Uno yang punya pengalaman “nyawapres” pada Pilpres 2019 lalu. Demokrat dan PKS tetap berusaha agar cawapres bagi Anies berasal dari kader-kader terbaik mereka.

Tafsir Keenam, dengan pancingan jitu jauh-jauh datang ke Hambalang, Surya Paloh berhasil menangkap “ikan” yang banyak kalau istilah “test the water” sudah kurang populer. “Ikan” yang didapat jauh lebih nyata dari pada cek ombak yang belum tentu ada ikan di dalamnya.

Bagaimanapun, Surya Paloh telah berhasil “memetakan” sendiri bagiaan kecil dari jalan menuju Istana lewat Pilpres 2024. Sebagai “kingmaker”, ia harus tetap mengawal jalannya pertarungan jangan sampai jagonya, yaitu Anies Baswedan, kalah (atau dikalahkan) sebelum masuk gelanggang.


Lewat perjalanan setahun ke depan, Surya Paloh akan berhitung maslahat dan mudharat langkah politik yang ditempuhnya itu. Sebagai pengusa dan politikus pragmatis, ia tetap akan mengambil mana yang lebih menguntungkan bagi dirinya; tetap mendukung Anies atau terpaksa harus meninggalkannya.

Itulah politik.
(Sumber: Facebook Pepih N)

TAG TERKAIT :
Prabowo Prabowo Subianto Surya Paloh Paloh

Berita Lainnya