20 tahun lalu, tepatnya pada 3 Juli 2003, terjadi peristiwa Bawean. Lima pesawat tempur F-18 Hornet Angkatan Laut AS melintasi perairan Indonesia di atas Pulau Bawean, Jawa Timur. Kelima F-18 Hornet direspons dengan pengerahan dua jet tempur F-16 milik TNI Angkatan Udara. Dua F-16 ini yakni Falcon 1 TS-1603 dengan kru Kapten Ian/Kapten Fajar dan Falcon 2 TS-1602 dengan kru Kapten Tonny/Kapten Satriyo.
Pada pukul 17.25, Falcon 1 terlibat manuver jarak dekat dengan dua F-18 Hornet karena mereka mengambil posisi menyerang dan posisi Falcon 1 terancam. Falcon 2 mengambil posisi sebagai support fighter. Falcon 1 melihat satu kapal fregat Angkatan Laut (AL) AS berlayar ke arah timur. Dengan ketenangan tinggi, dua penerbang tempur TNI melakukan rocking the wing untuk menyatakan bahwa Falcon 1 tidak mengancam. Namun dengan tegas minta kepada 5 pesawat tempur AS itu keluar dari perairan Indonesia. Tanpa banyak tanya, 5 pesawat tempur AS itu keluar.
Anda bisa bayangkan. Tanpa perhitungan inteligent dan skill prima, kepemimpinan nasional yang kuat, mana mungkin panglima TNI begitu berani perintahkan dua pilot tempurnya berhadapan dengan 5 pesawat tercanggih milik AS negara adidaya. Teman saya cerita, Megawati marah besar ke AS soal kasus Bawean itu. Desember 2003, Megawati keluarkan IMF dari Indonesia. Padahal paska kejatuhan Soeharto, kontrol AS terhadap Indonesia dilakukan lewat IMF. SBY melanjutkan kebijakan Megawati dengan melunasi hutang ke IMF.
Di Hotel Syahid tahun 2003 saat RUU TNI akan diajukan ke DPR, saya diskusi dengan teman. Tuntutan demokrasi untuk mereformasi TNI tidak bisa menjadikan TNI sebagai domain publik yang harus tunduk dengan sistem keterbukaan. Suka tidak suka, posisi Indonesia itu sangat strategis diantara kepentingan global. Maklum Indonesia berada di kawasan equatorial. berada di antara Benua Asia dan Benua Australia, di antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. 2/3 reute perdagangan dunia melintasi perairan Indonesia.
Apalagi dalam dunia yang terbuka sekarang, terutama bagi negara demokrasi, kerahasiaan sistem pertahanan militer satu negara tetap dipertahankan. KPK dan BPK tidak bisa masuk ke sistem anggaran level 3 di TNI. Karena perang terbuka mungkin saja tidak se ekspansif era sebelumnya. Tapi perang proxy terus terjadi. Bayangkan saja. Kalau sistem demokrasi memberikan hak kepada sipil untuk tahu isi perut Militer, bisa saja informasi penting tentang kekuatan militer diketahui asing. Data dan informasi itu bisa saja menekan kekuatan diplomasi sipil dalam hubungan regional dan international.
Buah kecerdasan pendiri bangsa ini adalah konstitusi politik bebas aktif. Sehingga Indonesia bisa terus mempertahankan geopolitiknya tanpa terjebak dengan kekuatan Barat dan Timur atau Utara Selatan. Walau geopolitik kita bersinggungan dengan geostrategis negara besar lainnya tapi pemimpin kita sejak era Soekarno sampai Jokowi bisa mengkapitalisasi geostrategis negara lain itu untuk kepentingan nasional.
Demokrasi bukan berarti hegemoni sipil terhadap militer. Suka tidak suka, sistem politik kepartaian belum mampu mendidik kader yang negarawan dan bela negara dalam konstelasi politik global terutama menghadapi perang asismentris. Adalah konyol memberikan peluang sipil sangat besar mengendalikan militer. Itu bukan saja merugikan demokrasi tetapi juga merugikan kepentingan nasional. Pahami itu!
(Sumber: Facebook DDB)
Opini 23/11/2023 22:30
Opini 22/11/2023 14:49
Opini 05/11/2023 03:03
Opini 03/11/2023 15:15
Opini 30/10/2023 23:18
Opini 18/10/2023 20:27
Opini 28/09/2023 07:42
Opini 27/09/2023 11:05
Opini 21/09/2023 19:05
Opini 14/09/2023 22:48
Opini 31/08/2023 17:02
Opini 16/08/2023 21:45
Opini 13/08/2023 13:41
Opini 09/08/2023 21:36
Opini 01/08/2023 16:00
Opini 29/07/2023 20:00
Opini 26/07/2023 19:05
Opini 20/07/2023 19:05
Opini 07/07/2023 13:05
Opini 06/07/2023 12:05
Opini 04/07/2023 13:26
Opini 27/06/2023 17:31