Hari ini, Minggu (18/6/2023) jagat perpolitikan nasional sedang diramaikan pemberitaan pertemuan perdana antara AHY dan Puan Maharani di Pelataran Hutan Kota, Jakarta. Yang jelas pertemuan ini seakan memecah kebekuan antara Demokrat dan PDIP selama hampir 20 tahun. Lalu, apa yang menjadi motif dan tujuan politik dari pertemuan ini?
Banyak yang mengatakan bahwa imbas dari pertemuan ini akan mengancam bubarnya Koalisi Perubahan. Sedari awal, saya memang tidak terlalu yakin bahwa koalisi ini akan terus berlangsung hingga kontestasi pemilihan. Ini bisa dilihat pada berbagai tulisan saya saat fase awal koalisi ini dideklarasikan. Kenapa? Untuk memahami ini, kita tidak bisa melihatnya secara ahistoris. Bahkan kalau perlu kita tarik mundur jauh ke belakang.
Salah satu yang bisa kita amati dalam hal tersebut di atas adalah perjalanan kiprah politik seorang Anies Baswedan. Dalam pidatonya pada acara Apel Siaga PKS akhir Februari lalu, Anies seakan mengingatkan kita dengan gaya khas ala “badut politik”nya. Ia seperti sengaja terpeleset ketika menyebut nama Susilo Bambang Yudhoyono supaya menjadi magnet sebuah jejak digital untuk mengingatkan kita bahwa PKS adalah entitas politik kawan lama bahkan bisa dikatakan binaan SBY sejak tahun 2004.
Terbukti, PKS menjadi bagian koalisi pemerintahan SBY di periode tahun 2004-2009 dan 2009-2014, serta menjabat beberapa jatah kursi menteri. Bahkan perolehan suara mereka melonjak di atas 7% yang sebelumnya tidak mampu memenuhi ambang batas parlemen 2%. Dalam periode pemerintahan SBY pula, idoologi HTI yang berafiliasi politik kepada PKS juga semakin eksis. Mereka bahkan mampu menggelar Muktamar Khilafah di GBK tahun 2013.
Berlanjut pada hajat Pilkada DKI 2017. AHY yang pada saat sebelum gelaran putaran pertama selalu menempati urutan teratas dalam berbagai survei elektabilitas, tiba-tiba saja ditikung oleh Anies Baswedan ketika ia mampu menjadi antitesa Ahok yang dituding menista agama. Dan akhirnya, ia mampu mengalahkan Ahok di putaran kedua. Ibaratnya, SBY yang menanam untuk AHY, malah Anies Baswedan yang memanen buahnya.
SBY masih belum berputus asa untuk melanjutkan dinasti kepada puteranya. Pada Pilpres 2019, ia sempat mengajukan nama AHY kepada Prabowo sebagai cawapres dalam “diplomasi nasi goreng” di Hambalang. Sayangnya, diplomasi itu tak berbuah hasil. Satu-satunya harapan yang tersisa bagi Dinasti Cikeas adalah hajat Pilpres 2024. Itulah kenapa, tongkat estafet kepemimpinan Partai Demokrat diberikan oleh SBY kepada AHY pada kongres ke V tahun 2020.
Sayangnya, dari berbagai hasil survei elektabilitas, nama AHY tidak cukup menjual untuk posisi Capres 2024. Nama kandidat tiga teratas diduduki oleh Prabowo, Ganjar dan Anies. Prabowo seperti langsung membuat barikade dengan membangun koalisi bersama PKB yang seakan menutup kans nama AHY sebagai Bacawapres bagi Prabowo. Sementara Ganjar diusung oleh PDIP yang secara historis perjalanan politiknya selalu berlawanan dengan Demokrat. Dan harapan satu-satunya bagi AHY adalah merapat kepada Anies Baswedan yang sudah dikunci oleh Nasdem sedari awal.
Kali ini AHY seperti figur yang terombang-ambing penuh ketidakpastian. Ini karena Anies Baswedan tidak segera mengumumkan siapa kandidat yang akan mendampinginya. Bagi saya, Anies adalah sosok politikus ulung tanpa partai. Ia pernah menjadi batu sandungan bagi AHY pada Pilkada DKI 2017. Dan kini, ia seperti akan merobohkan rumah koalisinya sendiri.
Anies Baswedan telah memberikan hukuman setimpal atas dosa besar kepada siapa yang telah membesarkan dan memelihara ideologi haram bagi NKRI. Memberi pelajaran betapa mahalnya ongkos sosial atas politik identitas dengan gaya kepemimpinan ala badutnya. Misinya berhasil, untuk menjadi batu sandungan, untuk pelajaran, bukan untuk menjadi Presiden RI. Sekaligus membuka topeng partai politik yang telah menempatkan perjuangan dinasti di atas ideologi.
Sumber : Status Facebook Fadly Abu Zayyan