Sunardian Wirodono : Pilpres Rasa Teh Anget

Indah Pratiwi - 28/09/2023 09:40

Beritacenter.COM - Di beberapa platform medsos, sedang anget soal hoak-hoek politik. Ada juga bocor alus yang kasar. Dari soal Prabowo dikatakan nyekik Wakil Menteri Pertanian. Hingga Jokowi murka. Baru media mainstream ikutan, ketika Gerindra dan Kementan klarifikasi. Bahkan kemudian Jokowi ikutan membantahnya.

Segitunya. Pilpres 2024 ini, tak lebih baik dari 2014 dan 2019. Politik identitas segitu nyata. Omongan Surya Paloh, tentang selamat tinggal politik cebong-kampret, dalam deklarasi pasangan Anies Baswedan-Cak Imin, mungkin nyangkut di jenggot.

Tipis-tipis kita lihat bagaimana komentar Gus Menteri dari Kemenag. Tapi katanya itu guyon. Klarifikasi Ketua Umum PBNU, soal ormasnya yang tak mau berpolitik praktis, menyatakan PBNU tak berkaitan dengan PKB, juga jadi tampak politis. Gampang sebetulnya dicari akarnya, lewat Mbah Kyai Google.

Belum lagi soal bocor alus omongan Gus Yusuf Chudlori, soal permintaan Jokowi agar PKB mendukung pasangan Prabowo-Erick Thohir. Pernyataan Anies soal PA-212 dan kelompok Rizieq Shihab yang mendukung Prabowo, tapi disuruh tiarap dulu. Lantas disusul gugatan Yusuf Martak dari PA-212, yang minta ketemuan bareng Yusuf Martak-Gus Yusuf-Anies, untuk beradu-bantah.

Dan seterusnya. Ini belum dari deretan yang dulu Jokower, tapi kini ambyar sewalang-walang. Karena relawan ternyata bisa jadi bisnis as usual. Mereka bisa bersilat lidah dan saling tuding, karena beda dukungan.

Sementara di kalangan kampus, yang mestinya bisa lebih dingin mendengar jualan para capres, malah jadi ajang debat pokrol-bambu. Meributkan hal-hal yang telah dan sedang, tapi bukan beradu bagaimana mengatasi dan mengantisipasi. Bukan berangkat dari perihal gagasan, proyeksi, dan bagaimana melihat persoalan ke depan beserta tantangannya. Ini nyari calon Presiden atau nyari musuh? Games changer-nya masih berpola zero sum game. Tak beda jauh dengan pola Soeharto.

Sekali lagi, itu karena sistem politik kita tak mengalami perkembangan. Berkutat dalam pragmatisme. Pilpres hanya dipandang sebagai proyek politik mereka semata. Wacananya berbatas pada visi-misi proposal internal masing-masing.


Jika itu dikatakan sebagai proses politik, bukan pilihan yang baik dalam konteks pendewasaan berbangsa dan bernegara. Karena yang ada hanya mobilisasi dan konsolidasi, untuk kepentingan soliditas kelompok masing-masing. Dengan berbagai cara, apa saja, yang dimungkinkan, dan dihalalkan.

Pertanyaan bagi rakyat jelantah, apa sih kegunaan Pilpres? Juga Pemilu 2024 itu? Memangnya ada? Mungkin ada, meski tak meyakinkan dan tidak substansial. Karena sistem politik kita yang elitis. Dalam situasi itu, tumbuhnya kelompok oposisi juga tak meyakinkan. Karena lebih berangkat dari upaya yang belum berkuasa, untuk giliran bisa merebutnya. Sekali lagi, zero sum game.

Senyatanya, presiden sebaik Jokowi, yang konon menguasai semua akses informasi paling rahasia mengenai isi perut para elite politik –bahkan tahu arah mereka pun, juga tak bisa apa-apa. Jika bermain simbol, mestinya juga tahu simbol-simbol itu dimanfaatkan untuk tujuan berbeda, dari yang diangankan Jokowi. Kontra-produktif jadinya.

Soal ‘aja kesusu’ saja, hanya berhenti pada jangan tergesa-gesa mendukung ini dan itu. Tunggu jari telunjuknya. Tidak operasional. Downliner-nya juga lebay menjelaskan. Bukan ajakan untuk mencermati para calon secara cermat, hati-hati, dan kritis. Tak ada kaitan bagaimana agar rakyat jelantah tak mudah digiring oleh teks-teks yang indah tapi tricky, atau teks-teks lebay yang seolah logis, akademis, dan ndremis.

Wong sebenarnya hal mudah kok dipersulit begitu rupa. Sangking ndene yang bernama kepentingan dipersempit. Hanya untuk kepentingan masing-masing. Tak sudi didialogkan sambil ngeteh atau ngopi. Karena terbiasa minum es teh dengan komposisi air panas campur es batu bata. Es teh rasa anget. Ngilangin haus seketika, tapi ninggalin asam oskalat di ginjal selamanya.

Bayangkan, kini soal berdoa saja. Ada pesan seorang kyai, agar diucapkan secara lengkap. Jangan hanya ‘amin’, tapi ‘amin ya robbal alamin’, yang suka disingkat YRA itu. Khawatirnya, kalau amin doang, bisa jadi syubath.

Tapi, ngemeng-ngemeng, ke mana Jusuf Kalla? Kok ilang? Atau sibuk nglukis, karena dunia seni lukis jadi sepi ditinggal SBY turun gunung, gara-gara for you? Mulai deh, ikutan nggossip! |

Sumber : Status Facebook Sunardian Wirodono

Berita Lainnya