Demokrasi dengan Monarki sangat jauh berbeda. Jika Demokrasi berbasis kehendak rakyat untuk negara, Monarki justeru berbasis kehendak Raja untuk negara.
Demokrasi banyak sekali membuat aturan yang tandas terkait dengan kekuasaan, semisal batasan usia dan ambang batas masa jabatan. Tujuan dari aturan ini agar pemimpin yang terpilih betul-betul berdasarkan meritokrasi dan menghindari kekuasaan yang absolut.
Sedangkan dalam Monarki, kehendak Raja adalah satu-satunya aturan yang harus dipatuhi oleh rakyat. Jika Raja berkehendak untuk menjadikan anaknya sebagai penguasa berikutnya, sebatas apapun usia dan kemampuannya, maka seluruh rakyat dipaksa menutup mata.
Dalam Monarki, Semua perangkat negara harus melindungi kehendak penguasa, termasuk membungkam rakyat yang tidak terima dengan cara intimidasi dan tindakan represif lainnya. Monarki membuat aturan bukan dengan cara mufakat, tapi secara monokrom dan kepatuhan paksa.
“Demokrasi secara ideal mereproduksi kekuatan rakyat, sedangkan Monarki hanya melahirkan para penjilat.”
Persoalannya, banyak pemimpin dalam Demokrasi hari ini yang memiliki “muka tembok” dan tidak tahu malu dengan menganggap dirinya seolah raja. Aturan-aturan disetir sesuai selera dirinya dan perangkat negara dimodifikasi menjadi alat penakut untuk melindungi segala kemauannya.
“Republik rasa kerajaan”, kata Gus Mus.
“Rai publik Rai Gedeg”, kata Sujiwo Tejo.
“Presiden merasa Berhala”, kata saya.
Sumber : Status Facebook Islah Bahrawi
Politik 29/11/2023 11:19
Politik 28/11/2023 20:31
Politik 28/11/2023 20:10
Politik 28/11/2023 12:02
Politik 27/11/2023 21:29
Politik 27/11/2023 13:30
Politik 27/11/2023 10:02
Politik 27/11/2023 09:15